Hi! Seminggu kemarin aku dapat amanah buat jadi MC di Rakernas (I'll tell u later gimana persiapan dan deg2annya) tapi aku masih tetep nulis PR cuma nggak aku post aja di blog. Jadi hari ini aku bakal post cerita aku dari hari ke 4 - 9 yah. Semoga berkenan!
PS. Ini tulisan ide lama yang aku kembangin lagi. Dulu dibantu Akre buat bikin tema ini, hehe^^
PS. Ini tulisan ide lama yang aku kembangin lagi. Dulu dibantu Akre buat bikin tema ini, hehe^^
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tiada henti bibir ini mengucap syukur
karena diberi kesempatan untuk
menginjakkan kaki di Tanah Papua,
yang katanya surga
tetapi miskin perhatian, yang katanya masih Indonesia
tetapi minim kepedulian.
Kaimana, tidak terbesit di pikiran akan menghabiskan dua bulan
hidup saya di kota yang terkenal dengan senjanya itu. Mendengar namanya saja
pun tidak pernah. Namun, kepala ini menggangguk lantang ketika Ibun –panggilan
akrab kormanit KKN-PPM UGM PPB 01 yang kebetulan adalah kawan sepermainan –,
mengajak saya untuk mengabdi ke negeri di bagian timur nusantara tersebut. Papua
di benak saya hanya
tentang koteka, sagu, honai, Raja Ampat,
dan Freeport. Selebihnya? Membayangkan saja
enggan.
Pendidikan
dan budaya
adalah senjata untuk memanusiakan manusia.
Sudah terlihat
jelas bahwa Papua dan Jawa memiliki
banyak perbedaan mengenai fasilitas yang
didapat dari pemerintah, seperti kesehatan dan pendidikan. Meskipun sarana kesehatan di Kaimana sudah cukup memadai,
kondisi wilayah yang
masih terkenal dengan persebaran penyakit malaria itu mampu membuat tim kami
bergidik
ngeri. Belum lagi, minimnya wawasan akan pertolongan pertama
pada kecelakaan, seperti luka bakar yang berubah menjadi
koreng jika tidak segera diobati dan terkadang malah dicungkil-cungkil
pakai golok oleh penduduk setempat, membuat saya pribadi sebagai
mahasiswa fakultas kesehatan merasa iba. Anak-anak usia 5-7 tahun banyak yang nglakuin hal begituan. Budaya kecil kaya gitulah yang
belum diperhatikan. Contohnya lagi buang sampah di selokan depan rumah,
sanitasi ke got depan rumah, padahal got rumah itu ga ada muaranya alias cuman
muter sekampung saja. Akan lebih bagus bila kita seharusnya bicara yang
memberikan simpati kepada mereka, saudara kita yang berada di Papua.
Berbicara
mengenai pendidikan di Papua, di Kota Kaimana sendiri pendidikan sudah sangat
lumayan dibanding dengan daerah Papua yang lain, banyak beasiswa yang diberikan
oleh pemerintah untuk siswa berprestasi. Misalnya temen sekelompok kita juga
banyak yang dapet, tapi kebanyakan untuk beasiswa perkuliahan. Pemerintah
disini mau kasih beasiswa juga kok ke beberapa anak untuk kuliah ke Jerman.
Beda banget ketika kita berada di kampung, Kampung Sisir contohnya. Guru SD
kadang ada yang ke kota jadi harus digabung dengan guru kelas lain, fasilitas
yang kurang mendukung, metode ajar yang kurang baik, buku tulis dan buku materi
dirasa sangat kurang.
Kondisi kebanyakan
anak-anak disana juga emang mentalnya kurang siap bersaing, kurang siap bila
ditaruh didepan umum, kurang siap jika menerima perubahan, kurang siap bila
harus berusaha keras. Memang perlu peran aktif pemerintah yang ikut mendorong
bagaimana pendidikan itu sangat penting bagi masyarakat. Ketimpangan pendidikan
yang didapat disana juga sangat tinggi sehingga kebanyakan orang memilih untuk
melanjutkan pendidikan di kota.
Di tempat tinggal kami selama di Papua
tentunya kita mempunyai tetangga yang menurut kami sangat welcome kepada kami, tidak jarang anak-anak seusia SD datang ke
tempat tinggal kami untuk sekedar belajar bisa mengenai pelajaran di sekolah,
keterampilan, atau bercerita kepada kami. Di kompleks tempat tinggal kami ada
beberapa anak yang sering bermain ke tempat kami hingga kami terasa rindu
ketika mereka tidak datang baru sehari saja. Dialah Nuraisah yang sering kami
sapa dengan Ica, kemudian ada Frinaldo yang dipanggil Nando, adapula Nervan
adik dari Nando, kemudian Beto, Kiki, dan Iyan yang kamipun tidak tau nama
panjangnya siapa. Di buku iyan hanya tertulis IYAN kemudian baris bawahnya
bertuliskan SD MISI. ha ha ha
Merekalah yang memberi keceriaan
kepada kami, pemberi semangat untuk terus mengabdi akibat ketimpangan di negeri
ini, pemberi rasa malu atas kebersyukuran mereka, pemberi rasa iba atas apa
yang mereka punya sekarang. Setiap malam kami membuka kelas untuk mereka
belajar barang sebentar saja untuk memberi kebiasaan kepada mereka untuk tidak
lelah menuntut ilmu. Mereka favorit sekali dengan angka jadi mereka selalu
mengajak kami untuk belajar matematika dan tak lupa kami selingi dengan
pelajaran Bahasa inggris atau mewarnai dan menggambar. Biasanya tiap anak punya
guru favorit di kelompok kami. Seperti Nando dan Beto dengan kaka Ferica, Ica biasanya
lebih fleksibel sih mau sama siapa aja karena dia masih TK jadi hanya matematika
penambahan biasa, dan saya pun kebagian Iyan. Beto dan Nando sangat sering
bersaing agar terlihat pintar, at least mereka
berdua punya punya daya saing yang tinggi. Kalau Ica sih sering sok taunya, dan
lebih senang menggambar. Kemudian kalo Iyan ini harus punya treatment khusus, harus dibujuk dulu,
harus dibikin fokus dulu, harus diajarin pelan-pelan, harus disogok dulu pake
gula-gula, kalau nando dan beto sudah mulai mengganggu dia belajar,
mengembalikan mood dia untuk belajar kembali pun sudah susah. Iyan ini
seharusnya kelas 4 SD sekelas dengan Nando dan Beto, tapi Iyan tinggal kelas 2
kali entah gara-gara malas atau apa, jadi dia sekarang Iyan duduk di bangku
kelas 2 SD.
Kami memang
tidak bisa langsung seperti Messiah langsung menyelamatkan mereka dari
keterbatasan yang mereka miliki, bantuan kami hanya sekecil biji sawi di tanah
Papua tidak berarti lebih bila perjuangkan kami yang sekecil ini hanya dianggap
angin lalu dan dikesampingkan oleh kebanyakan orang. Bantulah saudara kita yang
ada di Papua, bantulah mereka menerima segala fasilitas yang setara dengan yang
ada di Jawa. Indonesia tanpa Papua bukanlah Indonesia. Sedangkan Papua tanpa
kita takkan menjadi apa-apa. Pendidikan merupakan salah satu alternatif bagi
mereka untuk mengubah hidupnya sendiri, merubah pola pikir mereka, merubah
mindset orang-orang di Indonesia bagian barat bahwa anak Papua tidak bisa
apa-apa menjadi anak Papua itu mutiara.
Education
is the most powerful weapon which you can use to change the world –
Nelson Mandela
No comments:
Post a Comment