Pages

August 14, 2018

Secuil Cerita dari Kota Senja


Hi! Seminggu kemarin aku dapat amanah buat jadi MC di Rakernas (I'll tell u later gimana persiapan dan deg2annya) tapi aku masih tetep nulis PR cuma nggak aku post aja di blog. Jadi hari ini aku bakal post cerita aku dari hari ke 4 - 9 yah. Semoga berkenan! 
PS. Ini tulisan ide lama yang aku kembangin lagi. Dulu dibantu Akre buat bikin tema ini, hehe^^

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tiada henti bibir ini mengucap syukur karena diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di Tanah Papua, yang katanya surga tetapi miskin perhatian, yang katanya masih Indonesia tetapi minim kepedulian.

Kaimana, tidak terbesit di pikiran akan menghabiskan dua bulan hidup saya di kota yang terkenal dengan senjanya itu. Mendengar namanya saja pun tidak pernah. Namun, kepala ini menggangguk lantang ketika Ibun –panggilan akrab kormanit KKN-PPM UGM PPB 01 yang kebetulan adalah kawan sepermainan –, mengajak saya untuk mengabdi ke negeri di bagian timur nusantara tersebut. Papua di benak saya hanya tentang koteka, sagu, honai, Raja Ampat, dan Freeport. Selebihnya? Membayangkan saja enggan.

Pendidikan dan budaya adalah senjata untuk memanusiakan manusia.
Sudah terlihat jelas bahwa Papua dan Jawa memiliki banyak perbedaan mengenai fasilitas yang didapat dari pemerintah, seperti kesehatan dan pendidikan. Meskipun sarana kesehatan di Kaimana sudah cukup memadai, kondisi wilayah yang masih terkenal dengan persebaran penyakit malaria itu mampu membuat tim kami bergidik ngeri. Belum lagi, minimnya wawasan akan pertolongan pertama pada kecelakaan, seperti luka bakar yang berubah menjadi koreng jika tidak segera diobati dan terkadang malah dicungkil-cungkil pakai golok oleh penduduk setempat, membuat saya pribadi sebagai mahasiswa fakultas kesehatan merasa iba. Anak-anak usia 5-7 tahun banyak yang nglakuin hal begituan. Budaya kecil kaya gitulah yang belum diperhatikan. Contohnya lagi buang sampah di selokan depan rumah, sanitasi ke got depan rumah, padahal got rumah itu ga ada muaranya alias cuman muter sekampung saja. Akan lebih bagus bila kita seharusnya bicara yang memberikan simpati kepada mereka, saudara kita yang berada di Papua.
Berbicara mengenai pendidikan di Papua, di Kota Kaimana sendiri pendidikan sudah sangat lumayan dibanding dengan daerah Papua yang lain, banyak beasiswa yang diberikan oleh pemerintah untuk siswa berprestasi. Misalnya temen sekelompok kita juga banyak yang dapet, tapi kebanyakan untuk beasiswa perkuliahan. Pemerintah disini mau kasih beasiswa juga kok ke beberapa anak untuk kuliah ke Jerman. Beda banget ketika kita berada di kampung, Kampung Sisir contohnya. Guru SD kadang ada yang ke kota jadi harus digabung dengan guru kelas lain, fasilitas yang kurang mendukung, metode ajar yang kurang baik, buku tulis dan buku materi dirasa sangat kurang.
Kondisi kebanyakan anak-anak disana juga emang mentalnya kurang siap bersaing, kurang siap bila ditaruh didepan umum, kurang siap jika menerima perubahan, kurang siap bila harus berusaha keras. Memang perlu peran aktif pemerintah yang ikut mendorong bagaimana pendidikan itu sangat penting bagi masyarakat. Ketimpangan pendidikan yang didapat disana juga sangat tinggi sehingga kebanyakan orang memilih untuk melanjutkan pendidikan di kota.
Di tempat tinggal kami selama di Papua tentunya kita mempunyai tetangga yang menurut kami sangat welcome kepada kami, tidak jarang anak-anak seusia SD datang ke tempat tinggal kami untuk sekedar belajar bisa mengenai pelajaran di sekolah, keterampilan, atau bercerita kepada kami. Di kompleks tempat tinggal kami ada beberapa anak yang sering bermain ke tempat kami hingga kami terasa rindu ketika mereka tidak datang baru sehari saja. Dialah Nuraisah yang sering kami sapa dengan Ica, kemudian ada Frinaldo yang dipanggil Nando, adapula Nervan adik dari Nando, kemudian Beto, Kiki, dan Iyan yang kamipun tidak tau nama panjangnya siapa. Di buku iyan hanya tertulis IYAN kemudian baris bawahnya bertuliskan SD MISI. ha ha ha
Merekalah yang memberi keceriaan kepada kami, pemberi semangat untuk terus mengabdi akibat ketimpangan di negeri ini, pemberi rasa malu atas kebersyukuran mereka, pemberi rasa iba atas apa yang mereka punya sekarang. Setiap malam kami membuka kelas untuk mereka belajar barang sebentar saja untuk memberi kebiasaan kepada mereka untuk tidak lelah menuntut ilmu. Mereka favorit sekali dengan angka jadi mereka selalu mengajak kami untuk belajar matematika dan tak lupa kami selingi dengan pelajaran Bahasa inggris atau mewarnai dan menggambar. Biasanya tiap anak punya guru favorit di kelompok kami. Seperti Nando dan Beto dengan kaka Ferica, Ica biasanya lebih fleksibel sih mau sama siapa aja karena dia masih TK jadi hanya matematika penambahan biasa, dan saya pun kebagian Iyan. Beto dan Nando sangat sering bersaing agar terlihat pintar, at least mereka berdua punya punya daya saing yang tinggi. Kalau Ica sih sering sok taunya, dan lebih senang menggambar. Kemudian kalo Iyan ini harus punya treatment khusus, harus dibujuk dulu, harus dibikin fokus dulu, harus diajarin pelan-pelan, harus disogok dulu pake gula-gula, kalau nando dan beto sudah mulai mengganggu dia belajar, mengembalikan mood dia untuk belajar kembali pun sudah susah. Iyan ini seharusnya kelas 4 SD sekelas dengan Nando dan Beto, tapi Iyan tinggal kelas 2 kali entah gara-gara malas atau apa, jadi dia sekarang Iyan duduk di bangku kelas 2 SD.
Kami memang tidak bisa langsung seperti Messiah langsung menyelamatkan mereka dari keterbatasan yang mereka miliki, bantuan kami hanya sekecil biji sawi di tanah Papua tidak berarti lebih bila perjuangkan kami yang sekecil ini hanya dianggap angin lalu dan dikesampingkan oleh kebanyakan orang. Bantulah saudara kita yang ada di Papua, bantulah mereka menerima segala fasilitas yang setara dengan yang ada di Jawa. Indonesia tanpa Papua bukanlah Indonesia. Sedangkan Papua tanpa kita takkan menjadi apa-apa. Pendidikan merupakan salah satu alternatif bagi mereka untuk mengubah hidupnya sendiri, merubah pola pikir mereka, merubah mindset orang-orang di Indonesia bagian barat bahwa anak Papua tidak bisa apa-apa menjadi anak Papua itu mutiara.

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world –
Nelson Mandela

No comments:

Post a Comment